SURABAYA – Eksistensi Society of Renewables Energy (SRE) UNAIR telah memasuki tahun keduanya. Untuk membincangkan arah gerak organisasi tersebut tahun ini, tim redaksi mewawancarai Presiden Deanita Nurkhalisa dan Wakil Presiden Dewi Anisah pada Rabu malam (9/3/2022).
Nisa, sapaan karib sang wakil, mengatakan bahwa esensi pergerakan dari SRE adalah untuk meningkatkan kesadaran terkait urgensi penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia. Hal ini selaras pula dengan upaya penyuksesan target yang dicanangkan Presiden Jokowi yakni 23?T per 2025. Namun, Denit menjelaskan bahwa SRE UNAIR akan menggunakan pendekatan yang sedikit berbeda dalam pembahasan diskursus promosi EBT yakni multidisiplineritas.
“Dalam pembahasan potensi EBT, kita tentu harus membahas aspek teknis dan inovasinya secara komprehensif. Namun dalam konteks realisasi potensi tersebut, perlu juga untuk kita membahas aspek-aspek non-teknis, ” ujar mahasiswi prodi Hubungan Internasional itu.
Terdapat beberapa program kerja yang akan dicanangkan guna mengejawantahkan arah gerak tersebut. Nisa mengatakan bahwa SRE UNAIR akan mengeluarkan SRECatch! tiap minggu, yang memberikan informasi-informasi singkat namun bernas terkait EBT dari segi teknis maupun kebijakan. SRE UNAIR juga akan menggelar beberapa webinar kedepannya. Mahasiswa prodi Manajemen itu menambahkan bahwa salah satu penggelarannya akan bekerjasama dengan Genbi UNAIR.
Baca juga:
Bappenas Apresiasi SDGs Center UNAIR
|
“Tak hanya webinar saja. Nanti SRE UNAIR akan mengadakan acara-acara yang menarik seperti Industry Visit yang akan mengeksplor prospek kerja di industri EBT, ” ujarnya.
Denit menjelaskan bahwa isu-isu EBT yang disuarakan oleh SRE UNAIR harus memiliki momentum, dan ia memberikan tiga contoh. Pertama, adalah seberapa besar aksi nyata yang bisa dihasilkan dari presidensi Indonesia dalam G20 terkait transisi EBT. Kedua, adalah kritik dan saran terkait sistem hukum dan kebijakan EBT yang masih belum serius, serta acapkali melanggar HAM dan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC).
“Ketiga, adalah bagaimana perguruan tinggi harus segera memikirkan infrastruktur agar aktivitasnya ditopang oleh sumber energi yang terbarukan. Bahkan, UNAIR memiliki potensi yang menjanjikan untuk merealisasikan upaya tersebut. Kalau ada teknologi-teknologi inovatif yang dapat mendorong pemanfaatan EBT dengan efektif, ya kita akan dukung, ” tekannya.
Denit berharap bahwa SRE UNAIR tak hanya menjadi organisasi suporter, tetapi juga menjadi organisasi watchdog dalam transisi EBT di Indonesia. Ia menambahkan bahwa SRE UNAIR tak hanya sekadar membawa pengetahuan EBT, tapi dapat memantik tanya bahwa apabila transisi itu amat penting dalam menekan krisis iklim, mengapa hal tersebut masih belum dalam kehidupan sehari-hari kita. Nisa menambahkan bahwa perspektif itu patut untuk menjadi bahan sosialisasi kepada masyarakat luas.
“Jadi, kami berharap bahwa teman-teman bisa menerima kami dan mau berkolaborasi bersama!” tutup Nisa.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan